Aku merasa diuntungkan dengan sikapnya yang seperti itu. Dia tak bakalan melihat perubahan warna mukaku yang selalu berubah-ubah setiap saat hanya karena sikap dan bicaranya. Aku hanya diam saja. Gak berani jawab, karena tiba-tiba kerongkonganku terasa tersekat.
“Bil, maafkan aku ya, karena aku memaksamu kamu jadi begini,” kata Kak Rafa sambil menatapku lama.
Masih saja aku terpaku dan tak bisa menjawabnya. Tak percaya dia bisa selembut itu bicara padaku. Hanya kuanggukkan kepalaku sambil berkedip, karena memanga aku masih belum bisa menata hatiku yang masih terasa sakit karena kehilangan orang yang paling aku sayangi.
“Bil, sebenarnya aku pengen ngomong sama kamu.” kata Kak Rafa lirih.
Kak Rafa mendekatiku, dia berdiri disisi ranjang ruang evakuasi sehingga iya berada disampingku. Aku hanya diam, karena kepalaku masih berdenyut-denyut. Aku semakin kikuk karena kak Rafa tak segera berbicara. Hanya keheningan yang membuat semakin hatiku tak karuan. Lagi-lagi aku takut jika detak jantungku terdengar sampai telinga kak Rafa.
“Apa Kak?” tanyaku penasaran.
“Aku…” kata-kata kak Rafa terhenti.
Brak,..
Terdengar pintu terbuka, aku dan kak Rafa kaget karena pintu yang tiba-tiba bergerak sendiri diterpa angin, bersama dengan Kak Mira yang masuk dan tanpa sengaja melihat aku dan kak Rafa dengan jarak yang sangat berdekatan.
“Ngapain Raf, jangan macam-macam lho ya,” ancam Kak Mira.
“Enggak, emang aku ngapain?” jawab Kak Rafa.
Aku hanya diam, karena memang kami tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan.
Ulasan
Belum ada ulasan.